Dilihat dari landasan yuridis, telah diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Foto ini kami ambil di daerah Menteng Atas, Jakarta Pusat, di kawasan Bakrie Epicentrum. Jika dilihat dari pembuat jalan dan bangunan diatas, otonomi daerah memang bisa dilakukan oleh seorang pengusaha atau businessman. Walaupun daerah yang dikembangkan atas nama Bakrie Property, namun otonomi daerah akan tetap berjalan dengan lancar apabila didukung oleh Pemerintah Daerah alias PEMDA. Pembangunan memang sangat diperlukan, karena salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah.
***
Cintai Budayamu, Selamatkan Identitas Bangsa
(Sumber Foto: M Riyan's Doc)
(Sumber Foto: M Riyan's Doc)
Dua foto diatas masih diambil di kawasan epicentrum, tepatnya di depan sebuah hotel. Penduduk Indonesia memiliki agama mayoritas islam. Kesediaan warga masyarakat untuk bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat-istiadat, ras, dan agama, pun harusnya besar sehingga dapat membentuk organisasi besar berupa negara. Sebagai manusia yang berwawasan global, sudah sepantasnya kita bisa menyaring budaya yang masuk ke Indonesia. Namun, pada kenyataannya, masih banyak penduduk Indonesia yang masih "berbangga" dengan sifat hedonisme dan bertingkah laku seperti orang barat. Seharusnya, kita sebagai bangsa Indonesia, harus bangga terhadap budaya kita sendiri. Sejauh-jauhnya kau melangkah, janganlah pernah lupa dengan tanah air dan budaya kita sendiri. Ingat, Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya. Kalau penduduknya saja tidak dapat melestarikan citra baik budaya khatulistiwa, bagaimana nasib identitas nasional bangsa? Semoga menjadi sebuah pemikiran.
***
Pers Bukan Pembawa Petaka
Sumber Foto: (http://buanasumsel.com/wp-content/uploads/2010/10/wartawan.jpg) klik disini
Sebagai Konstitusi tertinggi di negara kita, UUD 1945 memang tidak memuat secara khusus tentang kebebasan pers tetapi hanya mencantumkan tentang kebebasan berpendapat. Namun, penjabaran dari kalimat kebebasan berpendapat itu diatur secara khusus tentang pers dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Namun, sanpai saat ini pada kenyataannya, kebebasan berpendapat masih saja sulit untuk dilakukan. Banyak berita-berita politik yang seperti sengaja disembunyikan dari media massa. Hal yang seharusnya besar menjadi kecil, dan yang kecil malah jadi dibesar-besarkan. Bahkan, tidak sedikit seorang 'pencari berita' dilakukan dengan tindakan kekerasan. Transparasi hukum di Indonesia masih sangat bobrok. Dalam konsep negara modern, pers diletakan pada pilar keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Seharusnya, dalam konsep negara modern pula--yang bercita-cita menegakkan negara yang berdemokrasi, kehadiran pers sangat penting dalam menjaga keseimbangan hukum, politik dan hak asasi manusia.
Saya akan menaruh sebuah quote yang menurut saya sangat menarik mengenai masalah ini:
Krisis multidimensional yang tengah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kepada kita semua, sebagai bangsa Indonesia, akan pentingnya menata kembali konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan tersebut berasal dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Sistem otonomi daerah, secara umum tertulis dalam Pasal 18 yang diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (6) pasal yang sama tertulis, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”[1]
Menurut (Yasni, 2010) dalam bukunya yang berjudul Citizenship,
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas perbantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Otonomi daerah memang memberikan ruang yang kondusif bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah akan berlangsung baik dan terlaksana sebagaimana mestinya apabila dilaksanakan dengan prinsip Good Governance.
Menurut (Yasni, 2010), Good Governance dapat diartikan sebagai tindakan maupun tingkah laku berdasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, ataupun memepengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan atau kehidupan nyata sehari-hari.
Saat ini, hampir tiap negara, sepengetahuan saya, bersiap-siap untuk menyambut era perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC, atau WTO. Setiap negara berupaya maksimal untuk menciptakan kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap efektivitas sektor publik (baca: pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor publiknya tidak efisien.
Menurut (Agustono, 2005), pemberian otonomi kepada suatu daerah bukan secara sembarangan melainkan melalui suatu pengesahan legalisasi yang didapat dari suatu otoritas tertentu. Pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.[2]
Syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini.
a. Kemampuan ekonomi.
b. Potensi daerah.
c. Sosial budaya.
d. Sosial politik.
e. Kependudukan.
f. Luas daerah.
g. Pertahanan.
h. Keamanan.
i. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Menurut saya, salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi. Dengan demikian, saya harap mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah Daerah juga harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah (APD), melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab-- yang dapat memperkokoh perekonomian daerah serta memperkuat persatuan-kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global.
Pada praktiknya di Indonesia—saya tidak akan membicarakan negara lain—mungkin pemakaian keuangan daerah masih kurang efisien. Uang yang seharusnya untuk pembangunan malah dipakai untuk makan oleh pejabat-pejabat di atas sana. Pada saatnya tiba di RT/RW yang tersisa hanya sekian persen dari yang sebenarnya. Hal itu mungkin bukan omong kosong. Saya pun baru menyadari. Sampai saat ini, fasilitas yang ada di kompleks perumahan saya hanyalah jalan yang sudah di aspal, WC umum yang kotor dan tidak terawatt, dan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang kurang berkualitas. Banyak tetangga rumah saya yang memilih menyekolahkan anaknya di TK dari pada di PAUD.
Saya berhasil memperoleh informasi, apabila seorang anak (usia tidak lebih dari tujuh tahun yang pasti, secara fisik atau psikis) tidak bisa mengikuti pelajaran, anak itu tak akan dibimbing sampai benar-benar bisa melainkan ditinggal. Dan saat tetangga saya yang kebetulan mempunyai anak yang pasif di PAUD (padahal sebenarnya kalau di rumah anak tersebut aktif bahkan bisa dibilang hyper-aktif) harus mengulang lagi pembelajaran anaknya di kelas yang sama tahun depan jika sang anak mendapat hasil progress yang jelek. Saya hanya bisa bengong[3] saat itu. Sistem pendidikan macam apa itu? Apakah tidak ada APBD untuk membayar pengajar yang lebih berkualitas dengan kurikulum yang lebih berbobot? Kemana saja APBD itu pak? Rumah saya terletak di Jakarta Pusat bagian Pusat (baca: Tanah Abang). Kalau daerah saya saja seperti ini bagaimana dengan daerah-daerah antah berantah yang jauh terpelosok dan terkucilkan di sana (baca: Irian Jaya) ?
Jadi kesimpulannya, otonomi daerah seharusnya bukan hanya sekedar teori dan sejarah ataukonsep, tapi juga dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari landasan yuridis, telah diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Dengan otonomi, sebuah daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan aspirasi masyarakat, namun setiap orang pun memiliki wewenang untuk melaksanakan otonomi di daerahnya dengan didukung oleh Pemerintah Daerah alias PEMDA di permulaan. Jadi, tunggu apa lagi? Jangan takut! Manfaatkanlah kekuasaan otonom di daerah Anda dengan bijak.
***
Referensi:
Yasni, Sedarwati. (2010). Citizenship. Bogor. Penerbit Media Aksara
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Budi Agustono. (2005). Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta. LP3ES.