Saya akan memulai cerita ini dengan kata “Pancasila” dan mengakhirinya dengan kata “Globalisasi”.
PANCASILA DAN GLOBALISASI
Pancasila. Siapa sih yang nggak tahu? Mungkin
pancasila nggak sepopuler Gangnam Style dan nggak seheboh Harlem Shake di
kancah internasional, tapi saya yakin Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik
akan mengetahuinya.
“Kenapa harus mengetahuinya? Apakah itu
perlu?” tanya sebuah suara.
Tentu saja perlu. Pancasila (pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip) sebagai dasar filsafat
sekaligus ideologi bangsa dan negara Indonesia, terbentuk melalui proses yang
bukan main panjangnya dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada hakikatnya, nilai-nilai dalam
Pancasila merupakan unsur-unsur yang digali dari adat-istiadat, kebudayaan
serta nilai religius bangsa Indonesia sendiri. Mengapa demikian? Karena kita
butuh dasar negara yang mampu mempersatukan unsur-unsur bangsa dan negara yang
heterogen. Selain itu, Pancasila juga perwujudan semangat nasionalisme para
pendiri bangsa.
Semangat nasionalisme itu, sayangnya, telah
mengalami penurunan pada titik yang kritis. Seekor makhluk bernama globalisasi,
yang membawa perubahan dan perkembangan khususnya di bidang teknologi
informasi, komunikasi, transportasi, dan bahkan ekonomi telah “menelanjangi”
dunia tanpa mengenal batas negara. Arus globalisasi inilah yang meningkatkan
interdepedensi dan memungkinkan terjadinya reorientasi konsep berbangsa dan
bernegara bagi generasi penerus bangsa. Jika terus dibiarkan, keadaan tersebut
bisa saja memudarkan identitas nasional bangsa kita: bangsa Indonesia.
IDENTITAS BANGSA INDONESIA
Identitas Nasional—secara terminologis adalah
suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa, yang secara filosofis membedakan
bangsa tersebut dengan bangsa lain. Jadi, setiap bangsa di dunia ini memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, ciri-ciri
serta karakter dari bangsa tersebut.
Pertanyannya adalah… apakah kamu sudah mengetahui
apa identitas nasional bangsa kita?
“Tidak,”
jawab sebuah suara gaib, lagi.
Apa? Saya mulai habis kesabaran. Bagaimana mungkin
kamu tidak mengetahuinya? Apakah Pancasila yang selalu kamu dengar saat upacara
sekolah itu bukan identitas bangsa kita? Jangan-jangan selama ini kamu
hanya melafalkannya tanpa pernah memahami dan mengamalkannya? Ya ampun, kayak gitu tuh sudah terlalu mainstream!
Suara
gaib itu mulai sewot. “Kalau begitu, coba kamu sebutkan identitas nasional kita
yang lain selain Pancasila!”
Tentu banyak sekali. Bahasa Indonesia, misalnya. Sebagai
bahasa pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), bahasa Indonesia merupakan salah satu dari identitas bangsa kita. Kita
harus bangga memakai bahasa Indonesia dalam keseharian kita. Eits, meskipun
begitu, kita juga perlu mempelajari bahasa lain di dunia untuk memperluas
pengetahuan kita.
Contoh identitas bangsa Indonesia yang lain adalah
bendera merah putih sebagai bendera nasional yang melambangkan perjuangan, rela berkorban, serta ketulusan dalam mengabdi kepada negara dan
bangsa Indonesia. Lalu ada Garuda Pancasila sebagai lambang negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna menyatukan berbagai ragam suku
bangsa, ras, dan adat dalam wadah NKRI. Dan, tentu saja, jangan melupakan lagu
kebangsaan kita, lagu Indonesia Raya. Lagu yang dapat memberi kita motivasi dan
inspirasi untuk meningkatkan kualitas diri demi mencapai kejayaan NKRI.
Sekarang, coba lupakan itu semua. Jika kita simpan KTP di dalam dompet, jika kita tidak berkulit sawo matang, dan jika kita tidak berbicara menggunakan bahasa Indonesia, apakah orang lain tahu bahwa kita orang Indonesia?
"Tentu saja tidak!" jawab suara gaib itu, lagi.
Kamu salah. Identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak hanya ditunjukkan dengan bendera, bahasa, KTP, maupun Garuda Pancasila. Itu semua hanya tampilan luar. Jika kita memang mencintai Indonesia, seharusnya kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan tulus dan ikhlas di mana pun kita berada, dalam keadaan apapun, sehingga Indonesia akan tetap menyatu dalam diri kita. Seperti bendera merah putih, merahnya akan tetap mengalir dalam darah kita dan putihnya akan terus menyatu dengan tulang kita.
Sekarang, coba lupakan itu semua. Jika kita simpan KTP di dalam dompet, jika kita tidak berkulit sawo matang, dan jika kita tidak berbicara menggunakan bahasa Indonesia, apakah orang lain tahu bahwa kita orang Indonesia?
"Tentu saja tidak!" jawab suara gaib itu, lagi.
Kamu salah. Identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak hanya ditunjukkan dengan bendera, bahasa, KTP, maupun Garuda Pancasila. Itu semua hanya tampilan luar. Jika kita memang mencintai Indonesia, seharusnya kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan tulus dan ikhlas di mana pun kita berada, dalam keadaan apapun, sehingga Indonesia akan tetap menyatu dalam diri kita. Seperti bendera merah putih, merahnya akan tetap mengalir dalam darah kita dan putihnya akan terus menyatu dengan tulang kita.
Hening.
Tidak ada lagi suara gaib yang terdengar.
PENGAMALAN PANCASILA
Saat ini, bangsa Indonesia masih menghadapi
berbagai masalah yang kompleks: krisis multidimensional belum dapat diatasi secara tuntas, kemiskinan
masih merajalela, penegakan hukum masih belum transparan, kendala pemulihan
ekonomi, serta masalah-masalah lainnya yang bertema “disintegrasi bangsa”. Apalagi,
dengan masuknya era globalisasi, persaingan dan
perbenturan kepentingan antar bangsa maupun antar negara semakin gencar dan
ketat. Persaingan tersebut dapat terjadi dalam komunitas global dan mencakup
spektrum luas baik dalam bidang ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya
maupun pertahanan keamanan.
Ironis. Di tengah kepungan ini, Pancasila yang
katanya sebagai pedoman hidup bangsa malah mulai ditinggalkan dan diabaikan.
Padahal, dalam kondisi seperti ini, kita harus mampu menjamin kepentingan
nasional bangsa kita. Oleh karena itu, transformasi nilai-nilai Pancasila perlu
diaktualisasikan dan selanjutnya digunakan sebagai acuan kritis agar dapat
memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia kini dan
nanti.
Seorang dosen di Sekolah Tinggi tempat saya
menimba ilmu pernah bertanya, “Apakah sila-sila dalam Pancasila perlu dirombak
sesuai perkembangan zaman?”
“Tentu
saja perlu,” tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi.
Sayang sekali, lagi-lagi kamu salah! Melalui diskusi yang
ketat, dosen saya tersebut menyimpulkan bahwa sila-sila Pancasila tidak boleh
dan tidak perlu dirombak, karena dengan merombaknya berarti kita akan mengubah
jati diri bangsa kita.
“Lalu,
apa yang harus dilakukan?” tanyanya angkuh.
Sebagai individu, yang harus kita lakukan adalah mengamalkan dan mengaktualisasikannya
secara modern dan fleksibel dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kemampuan
dan profesi kita masing-masing. Perkembangan zaman bukanlah alasan untuk mengubah atau melupakan Pancasila. Justru sebaliknya, kita harus bisa meng"globalisasi"kan pancasila.
MENGGLOBALISASIKAN PANCASILA
Jujur, saya bukan seseorang yang terlalu banyak
mengamati ideologi-ideologi negara lain. Meskipun begitu, saya yakin bahwa pancasila adalah sebuah
ideologi brilian dan unik yang tidak dimiliki bangsa lain. Kenapa?
1.
Konsep
ketuhanan yang maha esa pada sila pertama menjadikan kita sebuah bangsa yang religius. Bangsa yang terdiri dari
bermacam-macam keyakinan, yang apabila saling hidup dalam rukun dan damai, tak
akan ada tandingannya di dunia.
2.
Konsep
kemanusiaan yang adil dan beradab pada sila kedua menjadikan kita sebuah bangsa
yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, yang mungkin tidak dimiliki oleh
negara-negara kapitalis.
3.
Konsep
persatuan Indonesia pada sila ketiga akan menjadikan pluralisme dan
multikultural tidak berarti apa-apa bila kita saling tolong-menolong dan menjaga sesama. Pun bersama-sama menjaga dan mencintai tanah air kita sendiri.
4. Konsep
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan menjadikan kita sebuah bangsa yang demokratis, bebas, yang bila
masing-masing dari kita bisa saling menghargai pendapat orang lain, akan
membuat negara-negara liberalis mati kutu.
5.
Konsep
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadikan kita bangsa yang sejahtera
apabila tidak ada lagi silang-sengketa, kericuhan, kesenjangan sosial dan tidak
ada lagi sifat saling ingin “mencuri” hak dan kewajiban antara pemimpin dan yang dipimpin maupun
sebaliknya. Konsep yang mungkin tidak dimiliki negara-negara lain di luar
sana.
Keren banget, kan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila? Jadi, mulai sekarang, cobalah untuk mengglobalisasikan Pancasila sebelum
Pancasila ditelan oleh globalisasi itu sendiri. Mulailah dari diri sendiri dan dari hal yang sederhana.
Berhentilah mengejek agama yang bukan agamamu, jangan lupa beribadah meskipun facebook dan twitter mengudara; hormatilah setiap orang tanpa melihat jabatan, golongan, pekerjaan; bantulah orang yang memerlukan bantuan dengan tulus; kembangkanlah minat dan bakatmu di jalur yang benar, bukan dengan tawuran, dugem, hedonisme, dsb; jangan pernah men"dewa"kan suku atau ras tertentu; pilih pemimpin yang benar-benar kredibel—bukan karena kamu satu RT, satu lembaga, atau satu daerah; pakai produk-produk Indonesia serta dukung dan kembangkan kebudayaan, adat-istiadat, seni khas Indonesia sebelum membangga-banggakan produk dan kebudayaan negara lain—buat warga negara lain “berdecak kagum” dengan share di sosial media, youtube, stumbleupon, path, dll; jangan pernah menjelek-jelekkan negara sendiri di sosial media ataupun blog pribadi, budayakan musyawarah meskipun lewat Broadcast BBM, Group di Line, atau Skype Video Conference; dan tentu saja yang terpenting, bercita-citalah yang tinggi dan luhur untuk kemajuan bangsamu: bangsa Indonesia.
Berhentilah mengejek agama yang bukan agamamu, jangan lupa beribadah meskipun facebook dan twitter mengudara; hormatilah setiap orang tanpa melihat jabatan, golongan, pekerjaan; bantulah orang yang memerlukan bantuan dengan tulus; kembangkanlah minat dan bakatmu di jalur yang benar, bukan dengan tawuran, dugem, hedonisme, dsb; jangan pernah men"dewa"kan suku atau ras tertentu; pilih pemimpin yang benar-benar kredibel—bukan karena kamu satu RT, satu lembaga, atau satu daerah; pakai produk-produk Indonesia serta dukung dan kembangkan kebudayaan, adat-istiadat, seni khas Indonesia sebelum membangga-banggakan produk dan kebudayaan negara lain—buat warga negara lain “berdecak kagum” dengan share di sosial media, youtube, stumbleupon, path, dll; jangan pernah menjelek-jelekkan negara sendiri di sosial media ataupun blog pribadi, budayakan musyawarah meskipun lewat Broadcast BBM, Group di Line, atau Skype Video Conference; dan tentu saja yang terpenting, bercita-citalah yang tinggi dan luhur untuk kemajuan bangsamu: bangsa Indonesia.
Begitulah seharusnya. Di tengah “kepungan” komunitas global dan
multikultural sekali pun, jika kita bisa “mengglobalisasikan” Pancasila--agar berjalan beriringan dengan globalisasi--dan
mengembuskannya di setiap nafas kehidupan kita, identitas bangsa kita tidak
akan pernah pudar. Akan terus mengakar. Kekar.
“Mengglobalisasikan
Pancasila, ya?” Suara gaib itu terdengar lagi. ”Hmm, konsep yang menarik.”
Yap! Sebenarnya, setiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam mengglobalisasikan Pancasila. Hanya saja, banyak dari mereka yang tidak sadar telah melakukannya. Tunggu, tunggu... kamu itu, dari tadi kerjaannya mengganggu dan membolak-balikkan jalan pikiranku saja. Kamu itu sebenarnya siapa sih?!
Suara
gaib itu tertawa kecil, kemudian suaranya melemah sebelum benar-benar menghilang
dan berkata,”Salam kenal! Aku adalah…
GLOBALISASI.”
1 komentar:
Selamat tulisannya terpilih.
Btw, boleh sharing neh. Tanpa bermaksud negatif apapun dan tanpa ingin mengurangi esensi dari gelaran lomba tsb, hanya sekedar ingin bertanya, kira-kira apa pendapat anda tentang tulisan dari peserta yg menjadi Juara I berjudul "Dulu Kita Pernah Punya Pancasila" karya Ipul Gassing, kaitannya dgn Persyaratan Lomba terutama pada point 15 yang berbunyi (copas):
15. Peserta wajib mencantumkan banner lomba pada tulisan yang diikutsertakan pada lomba ini. Lalu banner di-link ke http://www.pusakaindonesia.org. Berikut bannner tersebut:
(link: http://www.pusakaindonesia.org/lomba-blog/) dan cek frase "pada tulisan" ketentuan tsb dan bukan tertulis "pada halaman blog" :D
*kalau boleh memahami, berarti setiap peserta wajib menyertakan banner lomba tsb di atas, pada tulisan yang diikutsertakan yakni dalam badan posting tulisan yang diikutsertakan, ya?
sedangkan tulisan yg menjadi Juara I silahkan cek di: http://daenggassing.com/2013/03/28/dulu-kita-pernah-punya-pancasila/
*banner yg menjadi persyaratan lomba, tidak pada tulisan tsb melainkan dipasang di luar samping kanan bagian tulisan tsb atau (kalau tidak salah) bagian sidebar blog dari tulisan yg diikutsertakan tsb. Bagaimana menurut anda? hehehe...
Posting Komentar
silahkan komentarnya