Tulisan ini
dimulai dengan not responding di
Microsoft Word. Mulai mengutuki diri sendiri, kenapa sih makin lama makin lemot
aja nih laptop?!
Apakah laptop
ini menyesuaikan si empunya? Well,
mungkin aja gue emang bisa mencetuskan itu. Pasalnya, sampe sekarang, mungkin
gue terlalu lemot akibat kegiatan tidak jelas berkepanjangan gara-gara nunggu
penempatan. Beruntung, gue masih bisa menganggap ini sebagai liburan sebelum
nantinya benar-benar terjun bekerja. Gue gak akan tahu apakah nanti saat gue
bekerja gue bisa enak-enakan seperti ini? Bisa main bareng temen-temen gue? Gue
bisa menulis? Apa gue bisa tidur dengan nyaman dan khidmat di siang bolong—apalagi
kalo plus hujan—? Tidur itu kegiatan
yang sangat langka apabila udah kerja nanti, gue rasa.
Tapi untuk saat
ini, gue mulai jengah. Udah terlalu lama gue tidur. Gue takut tidur yang
berkepanjangan ini membuat otak gue beku. Jadi, gue harus terus mengasah otak
ini. Tunggu … tunggu, gue bukan lagi ngomongin pelajaran atau psikotest buat
penempatan. Maksud gue dengan asah otak di sini adalah menulis. Gue semakin
suka dengan kegiatan ini, apalagi mulai sekarang, tulisan gue udah bukan jadi
konsumsi pribadi lagi. Bukan cuma jadi
konsumsi orang-orang yang deket sama gue. Alhamdulillah, tulisan gue makin
banyak yang mengapresiasi, dan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya ini,
gue harus terus berlatih dan berlatih. Belajar. Belajar nulis. Oke,
kedengerannya memang sangat Sekolah Dasar, tapi memang saya merasa, selama ini
saya belum banyak belajar ‘menulis’.
Menulis itu
memang kegiatan paling sesuai dengan otak saya yang liar. Tapi, gue juga gak
bisa menampik kalau di dunia ini, kita gak bisa hanya mengandalkan hidup dari
menulis. Sama seperti cerita yang tertuang dalam “Perahu Kertas”, di mana tokoh
utamanya, Kugy dan Keenan harus mati-matian menjadi diri mereka sendiri. Diri
mereka yang bebas. Meraih mimpi mereka yang terlihat mustahil.
Ada satu quote
yang gue suka banget dari novel satu itu, yang baru hari ini rampung gue baca
(dan mungkin akan gue resensi di post terpisah). Cerita cintanya emang klasik,
tapi karakter utama novel ini gue suka banget, dan tentang pencarian jati diri
mereka sangat realistis banget. Gue pun merasakan hal yang sama seperti mereka.
Oh, ya, quote
yang paling gue suka dari “Perahu Kertas” ini:
“Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita,
demi bisa menjadi diri kita lagi.”
Banyak orang di
dunia ini punya mimpi, tapi kebanyakan, mimpi-mimpi itu terjebak oleh realita
yang keras. Akhirnya, banyak dari pemimpi-pemimpi itu mengubur mimpinya
dalam-dalam. Dengan quote itu, gue semakin yakin bahwa jalan yang selama ini
gue tempuh nggak sepenuhnya salah. Gue harus menempuh jalan-jalan lain dulu,
sebelum pada akhirnya menginjakkan kaki ke jalan yang akan membawa gue ke
impian gue.
Gue pingin
banget ke luar sana.
Makanya gue suka
laut.
Laut itu sarana
yang akan menghubungkan gue dengan dunia luar.
Jadi, gue seneng
banget masuk ke jalan gue yang sekarang, karena ada kemungkinan gue akan
ditempatkan di suatu tempat yang memungkinkan gue bisa ngeliat laut setiap
hari.
Laut itu juga
bukan sang Penghubung ke dunia luar ‘nyata’, tapi juga ke dunia luar
‘imajinasi’. Jadi, laut itu sekaligus menghubungkan gue dengan dunia nyata yang
jadi impian gue dan dunia mimpi gue. Dua impi. Katanya sama, tapi mengandung
artian berbeda. Yang satu konotatif, yang satunya denotatif. Intinya, laut itu
penuh inspirasi. Ngeliat laut itu membuat hati tenang. Membuat kita tahu akan
keberadaan sesuatu yang ada di luar sana. Bahwa dunia itu luas. Dan penuh
warna.
Karena bintang
gue pisces, yang simbolnya adalah
ikan, kayaknya emang pantas kalau gue berharap nanti gue ditempatkan di kantor
yang dekat dengan laut. Saya gak minta kantor yang tempatnya sangat enak dan nyaman, saya gak minta kantor yang dapet bonus sana-sini setiap hari, saya gak minta kantor yang banyak kegiatannya. Cuma satu, kantor yang dekat laut. Boleh, ya,
Neptunus?
***
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya