Rabu, 07 November 2012

Jengah, Impi, Laut


Tulisan ini dimulai dengan not responding di Microsoft Word. Mulai mengutuki diri sendiri, kenapa sih makin lama makin lemot aja nih laptop?!


Apakah laptop ini menyesuaikan si empunya? Well, mungkin aja gue emang bisa mencetuskan itu. Pasalnya, sampe sekarang, mungkin gue terlalu lemot akibat kegiatan tidak jelas berkepanjangan gara-gara nunggu penempatan. Beruntung, gue masih bisa menganggap ini sebagai liburan sebelum nantinya benar-benar terjun bekerja. Gue gak akan tahu apakah nanti saat gue bekerja gue bisa enak-enakan seperti ini? Bisa main bareng temen-temen gue? Gue bisa menulis? Apa gue bisa tidur dengan nyaman dan khidmat di siang bolong—apalagi kalo plus hujan—? Tidur itu kegiatan yang sangat langka apabila udah kerja nanti, gue rasa.


Tapi untuk saat ini, gue mulai jengah. Udah terlalu lama gue tidur. Gue takut tidur yang berkepanjangan ini membuat otak gue beku. Jadi, gue harus terus mengasah otak ini. Tunggu … tunggu, gue bukan lagi ngomongin pelajaran atau psikotest buat penempatan. Maksud gue dengan asah otak di sini adalah menulis. Gue semakin suka dengan kegiatan ini, apalagi mulai sekarang, tulisan gue udah bukan jadi konsumsi pribadi lagi.  Bukan cuma jadi konsumsi orang-orang yang deket sama gue. Alhamdulillah, tulisan gue makin banyak yang mengapresiasi, dan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya ini, gue harus terus berlatih dan berlatih. Belajar. Belajar nulis. Oke, kedengerannya memang sangat Sekolah Dasar, tapi memang saya merasa, selama ini saya belum banyak belajar ‘menulis’.


Menulis itu memang kegiatan paling sesuai dengan otak saya yang liar. Tapi, gue juga gak bisa menampik kalau di dunia ini, kita gak bisa hanya mengandalkan hidup dari menulis. Sama seperti cerita yang tertuang dalam “Perahu Kertas”, di mana tokoh utamanya, Kugy dan Keenan harus mati-matian menjadi diri mereka sendiri. Diri mereka yang bebas. Meraih mimpi mereka yang terlihat mustahil.


Ada satu quote yang gue suka banget dari novel satu itu, yang baru hari ini rampung gue baca (dan mungkin akan gue resensi di post terpisah). Cerita cintanya emang klasik, tapi karakter utama novel ini gue suka banget, dan tentang pencarian jati diri mereka sangat realistis banget. Gue pun merasakan hal yang sama seperti mereka.
Oh, ya, quote yang paling gue suka dari “Perahu Kertas” ini:
“Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi.”


Banyak orang di dunia ini punya mimpi, tapi kebanyakan, mimpi-mimpi itu terjebak oleh realita yang keras. Akhirnya, banyak dari pemimpi-pemimpi itu mengubur mimpinya dalam-dalam. Dengan quote itu, gue semakin yakin bahwa jalan yang selama ini gue tempuh nggak sepenuhnya salah. Gue harus menempuh jalan-jalan lain dulu, sebelum pada akhirnya menginjakkan kaki ke jalan yang akan membawa gue ke impian gue.
Gue pingin banget ke luar sana.

Makanya gue suka laut.

Laut itu sarana yang akan menghubungkan gue dengan dunia luar.

Jadi, gue seneng banget masuk ke jalan gue yang sekarang, karena ada kemungkinan gue akan ditempatkan di suatu tempat yang memungkinkan gue bisa ngeliat laut setiap hari.

Laut itu juga bukan sang Penghubung ke dunia luar ‘nyata’, tapi juga ke dunia luar ‘imajinasi’. Jadi, laut itu sekaligus menghubungkan gue dengan dunia nyata yang jadi impian gue dan dunia mimpi gue. Dua impi. Katanya sama, tapi mengandung artian berbeda. Yang satu konotatif, yang satunya denotatif. Intinya, laut itu penuh inspirasi. Ngeliat laut itu membuat hati tenang. Membuat kita tahu akan keberadaan sesuatu yang ada di luar sana. Bahwa dunia itu luas. Dan penuh warna.


Karena bintang gue pisces, yang simbolnya adalah ikan, kayaknya emang pantas kalau gue berharap nanti gue ditempatkan di kantor yang dekat dengan laut. Saya gak minta kantor yang tempatnya sangat enak dan nyaman, saya gak minta kantor yang dapet bonus sana-sini setiap hari, saya gak minta kantor yang banyak kegiatannya. Cuma satu, kantor yang dekat laut. Boleh, ya, Neptunus?

***

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya

Who Reads